Menerapkan Mental Maintaining Learning Pada Pembelajaran Daring Untuk Mempertahankan Kesehatan Mental Siswa di Masa Pandemi Ini


Halo semuanya. Jadi kali ini saya mau bahas tentang kondisi mental siswa-siswa di saat melakukan pembelajaran secara daring seperti ini beserta solusinya. Happy reading y’all!

Sebelumnya, saya mau bahas dampak dari adanya Covid-19 ini, baik yang positif maupun yang negatif. Dampak baik yang terjadi beberapa diantaranya yaitu: memiliki banyak quality time bersama keluarga karena adanya kebijakan work from home, udara menjadi segar dan polusi berkurang karena berkurangnya aktivitas manusia yang menyebabkan pencemaran, dan orang-orang jadi lebih memperhatikan kesehatan mereka. 

Tapi jangan lupakan dampak negatifnya karena tentu tidak hanya dampak positif saja, pandemi ini juga membawa dampak buruk. Seperti pada bidang ekonomi, banyak pedagang yang harus berhentiberdagang karena pasar-pasar ditutup sehingga mengakibatkan angka kemiskinan di Indonesia semakin meningkat serta tidak maksimalnya work from home yang mengakibatkan adanya perampingan karyawan sehingga banyak karyawan di PHK. Lalu pada bidang sosial dan budaya, budaya masyarakat Indonesia yang ramah, gotong royong, dan selalu bersosialisasi, kini dipaksa untuk berhenti, tidak boleh berjabat tangan, tidak boleh berbicara dengan intens, membatasi diri dengan jarak minimal satu meter, dan lain sebagainya. Kemudian pada bidang pendidikan, guru dan siswa dituntut untuk menguasai teknologi canggih yang ada dan harus memiliki fasilitas yang diperlukan seperti smartphone atau laptop serta jaringan yang memadai.

Perubahan paling rumit terjadi pada bidang pendidikan dimana peraturan yang berubah-ubah, banyak ketidakpastian dari pemerintah, sertatuntutan kepada guru dan siswa untuk bisa mengoperasikan teknologi canggih yang terus berkembang. Mungkin hal ini mudah saja dilakukan oleh sekolah-sekolah yang ada di kota. Bagaimana dengan sekolah pelosok? Tidak memiliki fasilitas yang memadai karena pendapatan yang pas-pasan, jaringan yang tidak terjangkau, dan masih banyak guru yang tidak dapat melakukan pembelajaran daring. 

Tidak hanya itu, banyak siswa baik di kota ataupun di desa yang mengalami ganguan mental karena kebijakan sekolah online ini, merasa gagal dalam belajar, merasa mereka hanyalah beban orang tua, dan merasa tidak ada tempat untuk menceritakan keluh kesah mereka. Akhir-akhir ini banyak terdengar terjadinya kasus anak bunuh diri dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya hanya karena orang tua merasa jengkel anaknya tidak dapat memahami pelajaran dengan baik. Dari sini terbukti bahwa adanya bencana ini juga berdampak pada psikologi manusia, tidak hanya anak, namun juga orang tua.

Selanjutnya aku mau jelasin beberapa data yang sempat aku dapatkan dari berbagai sumber. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatandan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto mengatakan, pandemi Covid-19 yang tidak menentu memberikan dampak besar bagi masyarakat. 

"Kondisi pandemi yang tidak menentu memberikan dampak psikologis bagi masyarakat. Menjaga kesehatan jiwa masyarakat merupakan peran kitasemua," ujarAgus, dikutip dari siaran pers, Jumat (2/10/2020).

Bukan hanya di Indonesia, gangguan psikologis anak karena adanya Covid-19 ini juga terjadi di berbagai belahan dunia. Penelitian yang dipublikasikan pada JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei, Tiongkok serta melibatkan 2.330 anak sekolah membuktikan bahwa anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat covid-19 menunjukan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stress akibat covid-19.   Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa 7,1% anak-anak dalam kelompok usia 3-17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% pada kelompo kusia yang sama menderita depresi.  

Di Indonesia sendiri, implementasi kebijakan pembatasan kegiatan pembelajaran di sekolah ini tentunya berdampak signifikan pada kesehatan mental para siswa meskipun dengan derajat yang bervariasi. Data yang diperoleh dari survey penilaian cepat yang dilakukan oleh Satgas Covid-19 (BNPB, 2020) menunjukkan bahwa 47% anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35% merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15% anak merasa tidak aman, 20% anak merindukan teman-temannya dan 10% anak merasa khawatir tentang kondisi ekonomi keluarga.  Kondisi ini apabila tidak diatasi tentunya akan menyebabkan hal yang lebih fatal. Sebut saja MI (16), seorang remaja siswa kelas 2 SMA di Kota Gowa yang nekat untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun rumput (17/10/20) karena diduga mengalami depresi akibat tekanan pembelajaran jarak jauh yang dialaminya. Sebelum meminum racun rumput tersebut, MI sempat mengeluh kepada temannya bahwa dia mengalami kesulitan dalam mengakses tugas belajar di sekolah, akibat sinyal di area rumahnya yang tidak baik. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa anak dan remaja yang mengalami pembatasan aktivitas belajar di rumah, merupakan kelompok rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

Melihat fenomena masalah kesehatan mental yang terjadi pada anak dan remaja di Indonesia di masa pandemi, diperlukan upaya strategis dalam mengevaluasi sistem pembelajaran yang ada. Dengan memasukkan Mental Maintaining Learning atau pembelajaran berbasis pemeliharaan mental dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru adalah jalan terbaik. Karena siswa tidak hanya diajarkan materi seperti biasa, namun juga diajarkan untuk memelihara kesehatan mental mereka. Hal ini juga cukup mudah dilakukan oleh guru, karena menuangkan pemikiran positif kepada siswa adalah hal yang cukup mudah dilakukan. Pada metode pembelajaran ini guru diminta untuk menjadi teman baik siswa, sering melakukan komunikasi dengan siswa, mendiskusikan isu Covid-19, serta memberikan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membebani siswa juga disertai dengan motivasi-motivasi yang mampu meningkatkan semangat siswa untuk terus belajar dan mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Tapi guys, perlu diinget dengan menerapkan Mental Maintaining Learning pada pembelajaran ini akan sedikit menambah pekerjaan guru, dimana guru dituntut untuk memahami siswa dan menyajikan pembelajaran yang menarik melalui daring. Mungkin akan banyak guru senior yang merasa kesusahan, karena kebanyakan dari mereka melakukan pembelajaran daring itu merupakan tantangan yang cukup sulit, masih ditambah lagi mereka harus memberikan pembelajaran yang menarik siswa. Maka dari itu dibutuhkan kerjasama dan pengertian dari berbagai pihak, seperti pemberian fasilitas yang memadai kepada siswa dan guru yang kurang mampu oleh pemerintah, perhatian dari orang tua siswa agar dalam proses belajarnya selalu dipantau dan didampingi, serta kerjasama antar guru senior dengan guru muda untuk dapat menciptakan pembelajaran daring yang menarik.

Oke, kita sudah sampai di ujung blog ini. Kalau kalian punya pendapat lain atau menurut kalian pendapat aku kurang pas, bisa langsung diomongin ya hehe. Oh iya, terimakasih sudah membaca, maaf kalau penjelasannya kurang gampang buat dipahami. Tapi semoga bermanfaat untuk kalian. Stay safe ya, dimanapun kalian berada. Semoga pandemi ini juga cepat berakhir. See ya!


Komentar

  1. Hai shinta, saya sudah membaca beberapa postinganmu. Saya suka dengan caramu menyampaikan. Menggunakan bahasa sehari-hari tapi tetap sopan dan mudah dipahami. Terimakasih ya telah berbagi

    BalasHapus

Posting Komentar